Sabtu, 14 November 2015

Tak Sempat Mengambil BulanšŸŒ›

.

                                               Monica roza.

Teriakan… menuntutku untuk terus melangkah. Dengan sejuta harapan dan butiran kekhawatiran untuk memulai,aku pun memberanikan diri. “Ambilkan bulanbu,ambilkan bulanbu untuk menerangi dilangit….” Aku tak pernah merasa bosan mendengarnya. Sampai akhirnya aku ingin kembali mendengar semua lantunan itu. Bertanya lugu duduk dikursi kecil yang kini rapuh sambil dikepang. Aku ingin menjadi lugu lagi. Hentikan! Aku lelah! Tolong lihat aku, kan ku ambil bulan!
***
Jangan pernah berani-beraninya kalian berpikir bahwa aku adalah anak yang selalu dinyanyikan atau bahkan selalu mendengar dongeng yang membuat mataku tertutup. Aku, aku hanyalah mendengar senandung lagu yang bahkan bukan untukku. Lagu yang selalu dinyanyikan seorang ibu untuk anaknya. Kudengar dari sesuatu yang disebut tembok. Ya, bisa dikatakan juga ini bukanlah tembok karenan hanya terbuat dari jutaan jerami yang membentuk bangunan reyot nan jelek. Jerami kamarku ini berciuman dengan jerami kamar tetanggaku. Jangan sepelekan jerami ini karena jerami ini cukup membantuku mendengar ocehan orang tua yang seharusnya ku dapatkan dari ibuku. Mengapa? Karena ibuku belum mati. Tak peduli hidup atau mati ia tidak akan memperlakukan aku sebagaimana layaknya seorang anak perempuan yang terus tumbuh. Aku tumbuh dengan baik. Karena setiap malam ku dengar ajaran dari tetanggaku yang juga memiliki anak seumuranku. Selalu berlaga seakan aku merasa terganggu akan lantunan senandung lagu “ ambilkan bulanbu” yang dicintai anaknya. Namun, dilubuk hati yang terdalam aku sepertinya mencintai lagu itu juga. Tak sadar aku selalu menikmati lagu dan ocehan ibunnya tetanggaku .Anak yang beruntung memiliki ibu dan ayah yang sayang padanya. Namun, dikatakan beruntung juga tidak. Karena dia bahkan tinggal di kawasan orang miskin dikampungku, didalam rubuk reyot sama sepertiku. Tapi mengapa ia bisa bahagia?
Memeras dan terus memeras. Memeras pakaian yang seakan-akan tak pernah habis bagai memanen padi ribuan hektar. Air bersama diterjen yang ku kenal. Bukan pensil ataupun buku. Aku adalah budak. Dipagi ini dengan umur 10 tahun ku lihat lagi mereka anak-anak miskin yang menggendong tasnya dan tertawa seakan berlaku seperti orang kaya yang melirik orang yang memiliki kusta. Mereka juga miskin tapi mampu sekolah. Mengapa hal ini tidak berlaku padaku? Bisakah siapapun memandang aku. Aku yang ingin sekali mengenal pensil dan buku. Ah! Masa bodo atas pertanyaan yang bahkan tertahan dan tak mampu keluar dari mulut ini. Aku bodoh. Ya, memang bodoh.
“ Bu, aku ingin mengambil bulan! “ teriakku riang diumur 5  tahun. “ Dasar anak bodoh! Hentikan khayalanmu! Mana mungkin bisa mengambil bulan,idiot!” jawab ibuku dan disambung dengan tawa bapakku. Sebuah kebingungan yang amat besar ketika ibunya tetanggaku menyuruh anaknya mengambil bulan dan ibu ku yang teriak aku bodoh ketika aku ingin mengambil bulan. Sebenarnya siapa yang salah? Mungkin ibuku dengan ibunya tetanggaku berbeda spesie,mungkin.
Sebuah ocehan dari ibunya tetanggaku yang ku dengar semalam adalah ocehannya yang terakhir dan tak ingin ku lupakan yang kini akan ku bawa ke Jakarta diumurku yang ke-17 tahun. “ Tak perlu susah payah bergelut,karena ketika anak hawa tersakiti ,Sang pemilik akan mengangkat tulang pipinya  dan mengecilkan bola matanya. Tertawalah! “ . Ya, aku akan pergi ke Jakarta mengadu nasib diantar bapakku. Keputusan yang tetap ku anggap bodoh. Lebih bodoh dari keinginanku mengambil bulan saat kecil. Setelahh menangis karena dipaksa dan dijanjikan kehidupan yang membahagiakan di Jakarta .akhirnya aku memilih untuk pergi. Sebodoh-bodohnya aku, aku sadar bahwa aku ini mahluk bodoh yang bahkan tak bisa membaca. Dibalik kebodohanku, aku sadar akan jadi apa aku disana. Bagaimana bisa dengan keterbatasanku ,aku bisa bahagia. Memang sinting kedua orang tua ku! “ Muka kamu cantik, badan kamu bagus. Kamu berharga,ngerti gak?!” bentakan bapakku ketika aku memberontak untuk tidak pergi ke Jakarta walau belum ku mengerti maksud dari kata-kata bapakku itu apa.. Aku muak! Entah ini keputusan bodoh atau apapun aku tidak peduli. Lagi pula aku sudah sumpek hidup bersama 2 mahluk yang hanya dirumah , bercinta didepanku lalu meminta uang kepadaku. Aku pergi.
Kemewahan Jakarta terpancar. Aku terus berjalan dari aspal bersemen sampai blusukan ke tanah liat. Baru saja kulihat gedung besar dan kini aku berada di tempat kumuh. Heran karena gedung dan tempat kumuh bersebelahan. Aku terus masuk melalui gang sempit dan gelap. Bau rokok. Aku ulai mencium bau rokok. Samar-samar mulai kulihat ada manusia,asap,minuman keras, uang,kartu dan kudengar erangan dari seorang wanita. Tempat apa ini? . “ Pak, kita mau kemana sih?” tanyaku. Pria sialan ini tetap diam sambil meenarik tanganku. Ada satu rumah. Aku dan bapak kesana.
Setiap mata memandangku . mulai daari pandangan murah sampai pandangan sinis. Aku mulai risih dan bertanya apa ada yang salah dari diriku?. “ pak, kenapa banyak cowok dan cewe berdekatan seperti bapak dan ibu? Mengapa  mereka memandang sinis kearahku?”tanyaku. “ Itu karna kamu bergarga, perlu berapa kali bapak bilang?meraka merasa tersaingi,ngerti?” jawab bapakku dengan rokoknya. “ Maksud bapak apa? Aku akan bekerja seperti mereka? Menjadi pelacur? Aku ngga mau!” jawabku sambil melepas genggaman bapakku yang sedari tadi menariku seperti menarik anak anjing. Begitu erat smpai sakit kurasa,dan kini terasa basah tanganku karena keringatnya. “ Kamu bisa diem ngga?itu rumahnya! Kita akan kesana.” Jawab bapak yang langsung melotot dan sergap mengambil tanganku.
 Eh udah sampe ya sayang. “ sapa seorang wanita berbadan gemuk dengan kalung dan gelang bagai seles yang ingin menjual pernak-pernik nora itu. “ Salim sama mamih! Ayo cepat!” bisik bapakku. Kini tanganku bersentuhan dengan tangannya yang empuk dan kucium tangannya. “Memangnya tidak ada lipstick lain? Norak sekali warna merahnya.” Ceplosku pelan. Lalu ,kulihat mamih melotot dan bapakku mencubitku. Salahku apa?. “ Janet, ini ada stok baru cin! Cusss dibikin jadi uhuy.” Teriak mamih kearah rumahnya. Tak lama datang seorang pria yang tak kalah noraknya dari mamih. Ini pria atau wanita? Sungguh aku bingung dengan tempat ini. “ Ih cucok bingiiiit. Sini janet sentuh dan berubah menjadi periiiinces. Cus masuk cinn !” jawabnya dengan menarik tanganku. “ periinces? Princes? “kucoba mengeja satu kata yang agak aneh dari aslinya. “ duh bukan princes cin. Nama kamu sekarang peerinces. Okee? Gimandosdos? “ jawabnya dengan lenje. “ hah?” aku heran.
Bedak mulai tertabur dipipiku. Baunya tidak terlalu enak. Mungkin ini bedak murahan. Lipstick nora mamih kini  tertempel padaku juga. Iya menggores alisku yang sudah tebal dengan pensil alis seperti pelukis yang sudah ternama. Jujur aku tidak yakin dengan janet. Kuragukan kemampuannya dan kulihat kaca…wah! Aku seperti peerinces. Eh! Maksudnya princes. Aneh dia benar bisa mendandaniku walau terkesan murah. Janes memberiku baju yang kurang bahan. Berenda-renda dan gatal. Namun, kupakai untuk malam ini.  Aku cantik. Aku periiinces.
Janet mengenalkanku kepada wanita cantik yang selalu menggendong rokoknya. Namanya Wati tapi jadi prity. Dia mengajarkanku menggoda pria yang ada disini sampai akhirnya aku sadar bahwa aku dilatih untuk menjadi pelacur. Sial! Aku ngga bisa diam saja . aku memutuskan untuk lari. Prity mengejarku. Sepatu tinggi murahan ini sungguh tidak membantu. Kulepas dan lari sekencang-kencangnya. “ Ces! Ceees! Jangan lari.” Teriak Prity. “ aku ngerti gimana perasaaan kamu. Kita bisa cerita-cerita. Tolong berhenti! “ teriak prity lagi. Aku berhenti dan duduk ditangga rumah susun yang tak jauh dari rumah pelacuran. Ku menangis. “ aku ngga mau jadi pelacur. Lebih baik aku mengelus pakaian banyak dari pada mengelus suami orang atau menemani pria kesepian. Aku ngga ngerti kenapa ornag tua ku membiarkan aku menjadi seperti ini. Memangnya ada orang tua sebangsat ini?” teriakku sambil sendu.  Prity mengelus kepalaku. “ gue mengerti. Tapi lo akan merasakan bagaimana memiliki uang banyak dan membeli apapun yang lo mau hanya dengan caramudah. Tolol! “ jawabnya . “ aku ngga butus semua itu. aku bodoh dan tak memiliki apa-apa. Hanya harga diri yang membuatku berarti. Ngerti?!” aku mulai berontak. “ dengerin gue. Dulu gue juga ngomong gitu. Lo gakk harus tidur sama bajingan-bajingan itu. lo cukup menyentuh dan lo ambil duitnya. Lo cantik.lo mahal. Tolong lo coba dulu .” ocehannya terus berusaha meyakinkanku.Aku terus menutup wajahku dan menangis. “ dengerin gue. Orang tua lo nyerahin lo kesini. Mereka udah gak peduli sama lo. Disini lo bisa dapet keluarga baru. Keluraga yang bisa ngertiin lo . gua jamin kebahagiaan lo disini.”kalimat yang cukup membuatku sadar dan membangkitkan rasa benciku kepada orang tuaku. Ya, udah ngga ada yang peduli sama aku kecuali mereka. Aku putuskan untuk mencoba.
Malam pertama dimana aku akan mengelus pria-pria yag hadir disini. Bedak yang terasa tebal ngat membuatku percaya diri. Janet membuat diriku terlihat mahal malam ini. Aku duduk smbil menjepit rokok yang baru ku coba malam ini setelah dari pagi aku menghabiskan 5 bungkus rokok dengan prity dalam belajar mengisap dan menghembuskannya kembali. Prity banyak mengajarkan ku hal-hal yang perlu ku lakukan. Ku biarkan kaki kananku berada diatas kaki kiriku dan membiarkan pahaku terlihat indah karena rok mini yang ketat ini. Aku menunggu dan tak lama bapak-bapak yang umurnya tak jauh berbeda dari bapakku menghampiriku. Pria ini berjas dan sunggu terlihat kesepian. Kumulai basa-basi dan benar saja kudapatkan bahwa pria ini memiliki istri cantik namun tak mampu memuaskannya diranjang. “munkin bisa aku bantu,om?” godaku. Entah bagaimana aku bisa menjadi selincah ini. Ia membawaku ke hotel bintang lima. Kami bertransaksi dan sepakat hanya paket pegang-pegang. Cuma bikin  om ini tegang aku bisa dapet Rp. 10.000.000 . aku rasa aku mulai menyukai peerjaan ini. Beginilah awal karirku di dunia pelacuran.
“ Lo kenapa ty? “ tanyaku kepada prity yang sejak semalam menangis. Aku dan prity lah yang termahal diantara pelacur lainnya. kita cantik dan punya prinsip ngga mau tidur sama pelanggan. Kita ngga mau tertular penyakit menjijikan yang akhirnya merenggut nyawa pelacur-pelacur malang. “ Lo kenapa ?! jangan bilang lo tidur sama bajingan-bajingan berduit itu? .” tanyaku yang justru terus membuatnya menangis. “ Tolol lo! Perek bego! Jawab gua!” desakku. “ Gue kena HIV! Puas?” teriaknya yang serentak membuat pelacur murah menoleh dan berbisik. Aku bawa prity ke kamar. “ Kok bisa? Cerita sama gue! Lo main sama berapa om-om?” Tanya ku. “ Gua main sama brondong kaya. Gue jatuh cinta sama bajingan satu ini. Ternyata dia sering maen masuk keluar sama cewe. Brengsek! Gue baru 1kali langsung kena. Gue harus gimana? “ jawabnya sambil menangis. “ sore ini  gue temenin ngomong ke mamih .” Jawabku mencaiarkan suasana dengan memeluknya. Walau kami tau mungkin dia bisa digantung mamih. Karena aku dan prity bagai tambang emas yang mampu membuat hidup mamih begitu indah. Kita berdua bener-bener dijamin kesehatan dan asuransi sama mamih. Kita berdua gak boleh sakit apalagi menderita penyakit HIV.
“ Pergi lo perek murah! Keluar dari sini dasar hina! Pergi !” teriak mamih sambil melempar semua barang Prity ke luar rumah pelacuran. Aku terus disampingnya dan memeluknya serta ikut menangis. “ Mih. Prity sempat jadi tambang emas mamih. Dia sekarang butuh kita. Dia sakit. “ teriakku. Namun, mamih benar-benar tidak ingin mengenal Prity lagi. Aku tidak bisa embantunya karena aku dikurung karena mau membantu Prity. Prity pergi.
Dua bulan berlalu menjadi tambang emas mamih sendirian dan primadona rumah pelcuran ini. Begitu melelahkan. Pantas saja prity sangat menginginkan aku berada disini. Aku mendapat kabar bahwa Prity telah meninggal. Aku akan sangat menyesal Karena tidak mengantarnya ke tanah yang siap menutupnya. Mamih menyewa 2 bodyguard untuk mengawasku. Aku bener-bener kesepian. Aku ngga punya teman. Pelacur murah tidak mau berteman denganku karena merasa terdesriminasi. Lagipula siapa juga yang mau menjadi anak kesayangan mamih tapi tidak memiliki teman. “Prity.. gue kangen lo.”teriakku dengan menutup mulutku .
“  Brengsek lo! Pegang-pegang tapi nggamau bayar. Keluar lo! “ teriakku kepada pria botak yang berjas namun menawar harga. Sudah jelas terpampang bahwa aku tidak bisa ditawar. “ Belagu lo! Dasar perek! “ sautnya. “ Anjing lo! Emang gue perek,ngapain lo minta gua buat bikin bangun burung lo yang letoy? Istri lo gak mampu?” jawabku. Lalu, bodyguardku menarik dan mengusirnya. Lama-lama aku muak. Aku sudah terlalu terhanyut dalam dunia ini. Tak sadar sesungguhnya aku menginginkan kehidupan normalku dulu. Sudah 15tahun dan aku mampu membeli 2 mobil, iphone, tas dan baju mahal. Semua ada. Tapi kebahagiaanku tak terasa.
Malam ini begitu ramai. Sama seperti biasa asapmenggembul dari sisi manapun. Jutaan rayuan dan transaksi. Namun, mlam ini aku tidak semangat. Entah mengapa. Kerusuhan datang. Seperti ombak yang tiba-tiba meraung. Puluhan pria gagah memasuki gang perkampungan pelacuran. Dengan pakaian lengkap yang sangat kami kenal. Semua berlarian dan berteriak. Tak berbusana tidak melunturkan niat mereka untuk lari. Satpol-PP datang! Semua runyam. Aku bingung. Aku berlari ke mobilku dan kudapatkan tak ada lagi mobilku. Mobilku melaju sendiri. Tdak! Tidak mungkin melaju sendiri. Mamih dan Janet didalam nya. Aku berlari sendiri dan dikejar mereka yang terus berteriak “ Berhenti!”. Aku takut. Kakiku bergetar. Aku terjatuh. Cukup,aku tak mampu berlari lagi. Kubiarkan tangan perkasanya menyentuhku kasar. Sentuhan pria yang biasanya ku rasa lembut kini menjadi menyakitkan. Tuhan mengapa? Tidakkah cukup semuanya? Kau rebut kebahagiaan yang bahkan tak pernah kurasakansebelumnya. Ini rumahku, keluargaku. Mereka mulai menghancurkan apa yang ada disana. Aku menyaksikannya dengan mataku sendiri. Mereka membuat tempat ini rata bak tertiup angin tornado. Aku menang. Menangis sekencang-kencangnya. Aku tertangkap.
Kini jeruji besi dingin menjadi tempatku. Berbagai wartawan datang untuk mewawancara aku. Tidak bisakah mereka merasakan perasaanku? Aku sakit. Hatiku,jiwaku ,ragaku hancur. Kubiarkan jutaan pertnyaan yang mereka lantunkan. Aku diam. Tiba- tiba aku ingat. Lantunan “ Ambilkan Bulanbu.. Ambilkan bulanbu,untuk menerangi malamku yang gelap.” Aku tersadar bahwa aku bahkan belum sempat mengambil bulan. Aku tidak mendapat apapun selama ini. Harta tanpa kebahagiaan. Aku memutuskan untuk tidak terikat menjadi pelacur lagi. Kini aku bukan hanya bodoh. Tetapi aku adalah anak yang tak sempat mengambil bulan.

Sent from my iPhone

7 komentar:

  1. u r really into "sastra" world, take it to the next level! ;)

    BalasHapus
  2. Thanks a lot for visited my blog. Hopefully u'll be enjoy with ma blog @ovy ��

    BalasHapus
  3. Jiwa bahasanya keluar. Bagus cak :D

    BalasHapus
  4. Walaupun salah jurusan ya meg haha. Makasih megul, tetep baca blogku ya buat postingan" barušŸ’ @mega

    BalasHapus
  5. Terimakasih untuk kalian yang telah membaca...salam sastra šŸƒ

    BalasHapus
  6. da best short story i ever read <3

    BalasHapus